Gemawan Launching Rumah Gerakan dan Caffe Bumi

Sebarkan:

 



Ninemedia.id, Pontianak - Lebih dari 200 undangan menghadiri launching Rumah Gerakan dan Caffe Bumi di kawasan Ujung Pandang, Kota Pontianak. Mereka berasal dari berbagai kalangan, seperti pejabat publik, tokoh agama dan masyarakat, media dan jurnalis, serta mitra dampingan Gemawan.

“Gemawan memiliki inisiatif yang baik dengan bertransformasi menjadi tuan rumah untuk perubahan bagi masyarakat sipil,” ucap Dr. Myrna A. Safitri, akademisi Universitas Pancasila yang juga memegang amanah sebagai Deputi III BRGM RI pada talkshow yang dihelat Perkumpulan Gemawan. Sabtu 05 Februari 2022.

Menurut Mbak Myrna, sapaan akrabnya, kebijakan transformasi masyarakat sipil harus kembali kepada fitrah dari gerakan masyarakat sipil itu sendiri. Esensi gerakan masyarakat sipil adalah sebagai kontrol terhadap kebijakan publik. 


“Gerakan merupakan jembatan penghubung antara keinginan kuat dan permasalahan yang terjadi di masyarakat kepada pihak luar serta pemerintah, karena di masa lalu ada gap yang sangat besar,” pesannya pada kegiatan yang dipandu oleh jurnalis dan pengamat media, Reinardo Sinaga.

“Perubahan juga memiliki banyak arena. Setiap arena yang diambil adalah pilihan sadar dari pelaku pergerakan dan perubahan dengan pertimbangannya sendiri,” jelasnya.


Mbak Myrna yang hadir secara virtual memandang terjadinya proses dialektik dalam pembuatan kebijakan dengan gerakan masyarakat harus mampu mempertemukan agenda yang ada untuk mendorong agenda perubahan bersama. 


“Jika ingin terjadi perubahan bersama, para aktor yang terlibat harus ikhlas mendengar dan memahami kondisi masing-masing,” paparnya di Aula Rumah Gerakan Gemawan.

Senada dengan itu, Tri Budiarto, Deputi BNPB RI 2014-2017, yang juga hadir secara virtual, mengatakan bahwa gerakan kemanusiaan adalah keterpanggilan orang untuk memberikan perhatian lebih kepada orang yang membutuhkan. 


Ia berpesan untuk membiasakan hidup dengan independen untuk membangun ideologi dan menjaga hak masyarakat sipil.

Digelar secara hybrid, sejumlah narasumber yang hadir secara luring dalam launching adalah Bupati Kubu Raya, Muda Mahendrawan, SH; Wakil Walikota Singkawang, Drs. Irwan, M.Si; Dr. Hermansyah, SH., M.Hum; NGO Collaborator Kitabisa.com, Resi Jesita; dan Direktur Gemawan, Laili Khairnur.

Menurut Drs. Irwan, M.Si, peran masyarakat sipil akan terlaksana jika antara pemerintah, akademisi, swasta, masyarakat, termasuk medua memiliki rumus yang relevan. 


“Mereka harus memiliki peran yang seimbang, saling menginspirasi agar bisa mengubah paradigma yang berkembang di masyarakat, serta saling elaborasi dan sinergi,” ujarnya. 

Ia juga berpesan agar Gemawan mengambil inisiasi untuk membuat penelitian mengenai indeks masyarakat sipil di tiap kabupaten/kota yang bekerjasama dengan berbagai pihak,agar dapat mengukur tingkat perubahan yang terjadi.

Gerakan masyarakat sipil, menurut Bupati Kubu Raya, Muda Mahendrawan, SH, harus bersumber dari masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, maka masyarakat yang aktif akan mampu mendorong pemerintah untuk bergerak. 

“Buat masyarakat merasa memiliki program agar muncul tanggungjawab di dalam dirinya sendiri untuk bisa melaksanakan program yang ada dengan baik dan bersungguh-sungguh,” tegasnya pada petang itu. 


Ia berpesan agar tidak pernah puas dengan satu pencapaian, “Ayo kita tetap berlari kencang,” imbuhnya.

Melalui Rumah Gerakan ini, Gemawan berharap bisa memfasilitasi berbagai ide dan narasi perubahan masyarakat sipil, khususnya di Kalimantan Barat. Salah satu stakeholder yang coba dirajut pula adalah platform penggalangan dana publik, yakni Kitabisa. 

Resi Jesita, NGO Collaborator Kitabisa, dalam paparannya menjelaskan bahwa Kitabisa dapat menjadi jembatan pendukung bagi gerakan perubahan sosial yang diusung masyarakat sipil. “Yang membuat semuanya bisa terjadi adalah para pendonasi, kita semua,” ungkapnya.

Forum ini, menurut Resi, menjadi penghubung jaringan-jaringan yang terpisah-pisah.

Masyarakat sipil sempat menghadapi titik berat di masa 1980-an, ketika sistem negara yang otoriter membungkam suara-suara masyarakat sipil. Peran masyarakat sipil mencuat di awal tahun 1998, saat terjadi Reformasi. 

“Pada masa Reformasi, mulai muncul pergerakan dari NGO dan organisasi lainnya menyuarakan penyimpangan Orde Baru,” terangnya. 

Dr. Hermansyah, SH., M.Hum, akademisi FH Untan. “Perubahan hukum yang terjadi memberi ruang masyarakat sipil bersuara dan melakukan pergerakan demi perubahan,” terangnya.

“Bumi merupakan akronim dari Bincang untuk Masyarakat Indonesia. Nama ini dipilih agar bisa menjadi wadah untuk teman-teman berdiskusi dan bertukar pikiran,” ucap Laili 

Sementara itu, Khairnur, Direktur Gemawan, yang menjadi pembicara terakhir. Gemawan, melalui Rumah Gerakan dan Caffe Bumi, berharap dapat mempertemukan berbagai ide dan melahirkan simpul-simpul baru. Disruption era yang berlangsung harus mampu dijawab masyarakat sipil sebagai bagian dari adaptasi atas trasformasi yang begitu cepat terjadi. 

“Disrupsi yang terjadi karena pandemi, teknologi, dan krisis iklim akan berakibat semakin buruk jika kita tidak saling berkolaborasi,” ucap Laili. Satu hal yang tak boleh luput, terang Laili, adalah menjaga ideologi, sehingga dapat membentuk pribadi serta pemikiran. (Red2)

 

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini